Pradakshina, ketika ritual keagamaan dipariwisatakan

Membuka-buka album foto lama di laptop lama ternyata membuat saya menemukan kembali hasil hunting foto 5 tahun yang lalu. Sebuah folder bertuliskan "Waisak 2010" membuat saya menghentikan sejenak kegiatan menyusuri kenangan lewat jajaran foto-foto lama. 

Tahun 2010. Sebulan sebelum perayaan Waisak dimulai, saya dan beberapa teman sudah menyusun rencana untuk datan di upacara Pradakshina. Tujuan utamanya tentu saja memotret. Sebagai seseorang yang bermazhab human interest, acara ini sungguh luar biasa dan wajib untuk didatangi. Maka ketika hari H pun tiba, jam lima sore saya dan teman-teman sudah duduk manis diluar pintu masuk Borobudur. 
Azan Maghrib berkumandang. Seorang teman mencoba masuk ke dalam Borobudur namun petugas menghalangi. Hanya untuk umat, begitu katanya. Jika ingin memotret petugas itu menyarankan untuk masuk lewat gerbang Hotel Manohara. Beberapa teman mencoba untuk bernegosiasi sementara saya masuk begitu saja mengikuti rombongan umat. 
Setibanya di dalam saya sempat kehilangan arah. Begitu banyak orang di dalam. Tak semuanya umat. Jurnalis dan turis ikut berbaur di sana. Beberapa biksu berseliweran. Terus terang saya tak menyangka. Pradakshina ternyata meriah.
Hari itu, untuk pertama kalinya saya terlibat dalam sebuah kemeriahan perayaan hari besar umat beragama lain. 

The Prayers


Menyalakan lentera bersama

Terbang Tinggi membawa Doa & Harapan

Tahun 2014, sehari setelah upacara Pradakshina bergulir banyak dari mereka yang berseru. Kehadiran para wisatawan dan jurnalis dadakan ternyata sudah sampai ke tahap yang mengganggu. Beberapa media melansir bahwa tindakan para pemburu gambar itu sungguh kelewat batas. Ada batas-batas toleransi yang dilanggar hanya demi sebuah gambar indah yang akan diunggah ke media sosial.
Pertanyaannya: adakah saat itu yang dengan mudah menerobos penjagaan sekuriti seperti saya? Ataukah demi 'menjual' Borobudur maka pihak-pihak tertentu menjadi lebih permisif sehingga orang dengan mudah masuk dan mengikuti ritual yang mestinya sakral itu?
Ritual keagamaan yang memang merupakan sebuah potensi dari sebuah pariwisata budaya (cultural tourism) sebenarnya boleh dibilang cukup rawan untuk dikembangkan menjadi sesuatu yang 'dijual' atas nama pariwisata. Akan ada nilai-nilai yang terkikis di situ. Bahkan mungkin saja suatu saat nanti ada sesuatu yang ditambahkan atau ada polesan-polesan lain. 
Seiring dengan munculnya wisata budaya sebagai primadona baru dunia pariwisata membuat beberapa kebudayaan bahkan ritual agama menjadi komodifikasi kebudayaan atau agama, seperti yang diungkapkan oleh Karl Marx dalam Encyclopedia of Marxism.
Malam ini, lima tahun setelah untuk pertama kalinya saya datang dan melihat langsung upacara Pradakshina, saya seperti empat tahun terakhir ini memutuskan untuk tidak akan pernah datang lagi ke sana. Setidaknya saya tak ingin mencemari kekhusyu'an para bhiksu yang sedang melantunkan doa dengan kehadiran saya, dengan kilatan lampu blitz atau celoteh tak penting yang akan menganggu mereka.
Mungkin, memang harus ada hal-hal unik yang tak harus selalu diwartakan demi kebaikan hal itu sendiri.

Anyway, 
Selamat merayakan hari Waisak bagi seluruh umat Buddha di dunia
Sabbe Satta Bhavantu Sukithata
Semoga semua makhluk berbahagia...


PS: thank's for my friends for allowing me to use their pictures

Pradakshina, ketika ritual keagamaan dipariwisatakan Pradakshina, ketika ritual keagamaan dipariwisatakan Reviewed by explore indonesia on 9:39 PM Rating: 5

No comments:

PropellerAds
Powered by Blogger.